Bismillah. Selepas menyelesaikan daras buku Alan Chalmers berjudul ‘What is This Thing Called Science?’ yang berjalan kurang lebih selama 1,5 tahun bersama rekan-rekan penggiat sains dan teknologi, juga didampingi oleh Ust. Dr. Usep Mohamad Ishaq & Ust. Dr. Wendi Zarman dimana kami membahas banyak hal terkait apa itu sains, model-modelnya dan bagaimana ia berkembang sepanjang zaman, saya cukup terpantik untuk mengenal lebih jauh seperti apa sains dan teknologi berkembang hingga hari ini dan terkhusus bagaimana pandangan Islam tentangnya. Ada banyak buku-buku yang sudah masuk dalam daftar untuk saya baca dalam waktu dekat, baik buku-buku yang berasal dari khasanah keilmuan Islam itu sendiri seperti ‘Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan’ tulisan Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi (Rektor UNIDA Gontor), ataupun tulisan buah pikir orang-orang barat seperti ‘Homo Deus’ karangan Yuval Noah Harari.
Namun, sebelum mengembara terlalu jauh, saya merasa butuh melihat beberapa buku yang agak ringan dan lebih mengakar secara nash, dan pilihan saya jatuh kepada buku berjudul ‘Al-Quran dan Sains‘ karya Ust. Ahmad Sarwat. Sebagian dari kita mungkin sudah mengenal beliau, sebagai salah satu pendakwah di Indonesia, pembina Rumah Fiqih Indonesia, yang mengenyam pendidikan syariah terkait perbandingan mazhab di Saudi Arabia. Penasaran juga ingin tahu lebih jauh, bagaimana pandangan rekan-rekan yang berasal dari Islamic Studies terhadap topik sains ini, yang sepertinya pandangan beliau bisa cukup memberikan gambaran tentang itu. Pernyataan beliau bahwa Al-Quran memiliki ayat-ayat sains lebih banyak daripada ayat-ayat hukum di halaman-halaman awal buku ini, membuat rasa penasaran saya semakin menjadi-jadi.
Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi beberapa hal menarik yang saya temukan di setiap bab yang ada di buku ini. Tulisan ini sebetulnya sifatnya hanya sebagai sharing knowledge & experience saja yang mudah-mudahan juga bisa memantik para pembaca yang mungkin juga memiliki ketertarikan yang sama terkait topik ini. Tentunya, akan sangat bagus kalau pembaca nanti bisa coba membaca dan mendalami langsung setelah mendapatkan beberapa poin menarik yang akan saya coba ulas di tulisan kali ini.
Pembukaan
Di awal buku ini, penulis coba mengajak pembaca untuk menyadari bahwa mata yang kita pakai setiap hari untuk mengindera fenomena-fenomena alam yang ada di sekitar kita itu pada dasarnya sangat terbatas, karena sifatnya yang mudah sekali tertipu. Contoh yang mungkin bisa saya berikan sebagai penjelasan yaitu mata kita yang begitu naif ketika melihat bulan di malam hari yang tampak sangat kecil dan tampak seperti selalu mengikuti kita kemanapun melangkah. Jika kita mencoba memberikan interpretasi terhadap fenomena ini hanya bermodal sepasang mata kita, tentu kita akan sampai pada kesimpulan yang bertentangan dengan penjelasan sains modern (abad ke-16 hingga hari ini) bahwa sebetulnya bulan itu sangat besar dengan radiusnya yang hampir mencapai sepertiga dari luas bumi. Hanya saja, karena ia berjarak sangat jauh dari bumi (hingga ratusan ribu mil) maka ia menjadi tampak sangat kecil di sepasang mata kita.
Menyadari hal ini, maka kita bisa memahami bahwa aktivitas riset dan penelitian terhadap fenomena-fenomena alam yang ada di sekitar kita menjadi hal yang teramat penting agar kita bisa lebih baik ketika mencoba memahami alam ini. Al-Quran, yang memiliki fungsi sebagai petunjuk, memuat banyak sekali ayat-ayat yang kemudian mendorong kita untuk melakukan aktifitas-aktifitas tersebut dan menjelaskan keutamaan yang ada di dalamnya. Bahkan, mudahnya mata manusia tertipu oleh apa yang dilihatnya sudah disinggung dalam satu ayat Al-Quran berikut.
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan.” (Qs. An-Naml: 88)
Mata kita, terlalu sering memberikan sangkaan yang tidak benar. Keterbatasan ini sebetulnya juga ada di indera kita lainnya. Coba sejenak saja kita renungkan.
Bab 1. Perhatian Al-Quran Kepada Sains
Bab ini, bagi saya adalah bab yang sebetulnya tidak begitu banyak hal baru yang bisa didapat, karena bab ini lebih banyak berbicara tentang Al-Quran yang mengajak kita untuk melihat objek-objek alam di sekitar kita seperti air, angin, awan, burung, kebun anggur, hingga langit dan bintang. Penjelasan yang mungkin sudah sering kita dengar di kajian-kajian yang sering kita hadiri di Indonesia ketika membahas tentang Al-Quran dan Sains. Di samping itu, bab ini juga berupaya mengingatkan kembali betapa pentingnya mencari ilmu dalam Islam yang bahkan Allah memuji dan menjanjikan akan meningkatkan derajat para ilmuwan. Terlepas dari itu, bab ini, sangat kaya dengan nash-nash Al-Quran yang saya pikir bisa kita jadikan catatan penting untuk diskusi-diskusi terkait topik Al-Quran dan Sains kedepannya.
Pembahasan penulis yang paling menarik bagi saya di bab ini adalah, penjelasan bahwa apa yang selama ini kita pahami tentang ahli ilmu agama dan ilmu sains sebetulnya secara pemaknaannya tidak dibeda-bedakan dalam Al-Quran (penulis mengkoreksi pandangan keliru masyarakat muslim terkait hal tersebut khususnya di Indonesia pada hari ini). Keduanya, juga sama-sama disebut atau tergolong ‘ulama’ yang dimaksud pada ayat berikut dan memiliki keutamaan-keutamaan yang Allah sebutkan di Al-Quran.
“…Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama...“ (Qs. Fathir: 28)
Penulis menjelaskan, bahwa kata ‘ulama’ di atas juga memiliki makna yang sama dengan nama-nama lainnya yang ada di Al-Quran seperti ulul-ilmi, ulul-albab dan ulul-abshar.
Bab 2. Ayat Sains vs Ayat Hukum
Bab ini merupakan ulasan lebih lanjut dari penulis yang mencoba memberikan pernyataan di bab pembuka bahwa jumlah ayat-ayat sains yang jauh lebih banyak dibandingkan ayat-ayat hukum yang ada di Al-Quran. Tidak ada angka pasti yang disepakati oleh para ulama, namun secara umum penulis mencoba menaksir angkanya berada di sekitar 800-100 untuk ayat-ayat yang terkait atau setidaknya menyinggung perihal sains. Namun untuk ayat hukum, kita akan mendapati hanya sekitar 200 saja. Jujur, pernyataan ini sangat menarik bagi saya. Menimbang, sejauh ini kita lebih sering mendapatkan informasi (baik melalui kajian online atau halaqoh yang kita hadiri secara langsung) terkait fiqh praktis yang memang kita sebagai muslim butuhkan untuk menjalankan tanggung-jawab kita baik pada aspek ibadah ataupun muamalah. Bahwa dari ayat-ayat hukum yang sejumlah ‘hanya’ sekitar 200 ayat ini, ribuan karya-karya para ulama telah memenuhi rak-rak perpustakaan kita.
Hal sebanding tidak kita dapati pada karya-karya kitab yang membahas topik-topik terkait sains khususnya pada hari ini. Walaupun, tentu kita tetap bangga dengan sejarah peradaban Islam yang gemilang yang pernah berhasil menyerap dan menyempurnakan (tidak sekedar mencontek seperti tuduhan para orientalis) semua pencapaian seluruh ilmu pengetahuan dari berbagai peradaban dunia mulai dari Romawi, Yunani, Mesir, Persia, Afrika, India hingga China. Namun, tentunya setelah mengetahui hal ini, kita bisa semakin memahami bahwa sebetulnya masih banyak sekali “mutiara-mutiara” yang ada dalam Al-Quran yang semestinya bisa menjadi inspirasi dan motivasi besar kita dalam beraktivitas sains.
Bab 3. Ayat Yang Sejalan Dengan Sains
Setelah mengajak pembaca untuk melihat kembali keutamaan berilmu (baik agama ataupun sains) dan bahkan kenyataan bahwa begitu banyak ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang sains, di bab ini, penulis mencoba menyajikan kepada pembaca beberapa ayat Al-Quran yang berbicara tentang fenomena alam yang sejalan dengan penjelasan sains modern pada hari ini. Bab ini kaya dengan nash-nash yang bisa kita jadikan rujukan ketika membahas perhatian Al-Quran terhadap fenomena alam. Namun, mungkin disini saya akan coba memberikan beberapa contoh ayat-ayat Al-Quran yang penjelasan lebih jauhnya bisa pembaca telusuri langsung di buku penulis.
Beberapa ayat yang menurut penulis sejalan dengan (penjelasan) sains modern pada hari ini yaitu ayat-ayat yang mengungkap tentang Dasar Lautan yang Gelap (Qs. An-Nur: 40), Segala Sesuatu Diciptakan Berpasangan (Qs. Adz-Zaariyat: 49), Proses Kehamilan Manusia (Qs. Al-Hajj: 5), Sifat Sidik Jari (Qs. Al-Qiyamah: 3-4), Jaringan Syaraf di Kulit (Qs. An-Nisa: 56), Garis Edar Tatasurya (Qs. Al-Anbiya: 33), Teori Big Bang (Qs. Al-Anbiya: 30), Ruang Angkasa Hampa Udara (Qs. Al-Anam: 125), Sifat di antara Bumi dan Luar Angkasa (Qs. Ar-Rahman: 33) dan Gunung Berjalan seperti Awan (Qs. An-Naml: 88).
Bab ini, bagi saya, walaupun penulis memiliki latar belakang pendidikan di kajian Islamic Studies, penulis tetap bisa dan berani menyertakan uraian saintifik singkat yang cukup baik dari ayat-ayat di atas tanpa memaksakan diri untuk terlalu jauh menjelaskan bagaimana teori dan mekanisme sainsnya bekerja.
Bab 4. Ayat Yang ‘Bertentangan’ Dengan Sains
Bab ini, berhasil membuka pandangan lama saya tentang bagaimana hubungan Al-Quran dan Sains!
Pada bab ini, penulis mengajak pembaca untuk mau teliti dan sedikit saja bersikap jujur dengan kenyataan yang ada bahwa selain ada ayat-ayat Al-Quran yang (dianggap) sejalan dengan sains, ada juga beberapa ayat yang tampak secara zhahir bertentangan dengan penjelasan sains modern pada hari ini. Tidak kalah dengan bab sebelumnya, pada bab ini penulis juga menyajikan banyak sekali contoh ayat-ayat Al-Quran yang dimaksud dan reaksi umat Islam. Mulai dari kebingungan untuk mendudukkan ayat-ayat Al-Quran yang menyebutkan bahwa bumi dan langit diciptakan dalam waktu 6 hari (Qs. Al-Araf: 54) dengan penjelasan sains modern yang mengatakan bahwa usia alam semesta diperkirakan mencapai 13,7 miliar tahun, hingga sikap muslim terhadap fatwa yang bertentangan dengan sains modern (penulis memberi contoh Syeikh Bin Baz, Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahumullah dan secara umum komisi Fatwa Saudi Arabia) seperti fatwa yang meyakini bahwa bumi itu rata.
Beberapa ayat Al-Quran yang penulis sajikan di bab ini yaitu ayat-ayat yang menyebutkan bahwa Bumi dan Langit Diciptakan dalam 6 hari (Qs. Al-Araf: 54, Qs. Yunus: 3, Qs. Hud: 7, Qs. Al-Furqan: 59, Qs. As-sajdah: 4, Qs. Qaf: 38), Matahari Bergerak Mengelilingi Bumi (Qs. Al-Anbiya: 33, Qs. Al-Araf: 54, Qs. Az-Zumar: 5, Qs. Ar-Rad: 2, Qs. Yasin: 38-40), Bentuk Bumi Bulat Rata (Qs. Al-Baqarah: 22, Qs. Al-Hijr: 19, Qs. Thaha: 53, Qs. Qaf: 7, Qs. Al-Ghasyiah: 20), Bumi dan Langit Ada Tujuh Buah (Qs. Ath-Thalaq: 12, Qs. Al-Baqarah: 29, Qs. Al-Isra: 44, Qs. Ash-Shaffat: 6, Qs. Al-Baqarah: 22).
Tidak berhenti sampai disitu, penulis lebih jauh mengutip ayat-ayat yang secara zhahir menyampaikan Langit Diangkat ke Atas Tanpa Tiang (Qs. Ar-Rad: 2, Qs. An-Nisa: 158, Qs. Fathir: 10, Qs. Al-Anbiya: 32), Matahari Terbenam di Laut (Qs. Al-Kahfi: 86), Gunung Diletakkan dan Jadi Pasak (Qs. Qaf: 7, Qs. An-Naba: 7), Gunung Mencegah Gempa Bumi (Qs. Al-Anbiya: 31, Qs. An-Nahl: 15, Qs. Luqman: 10), Besi Diturunkan (Qs. Al-Hadid: 25) dan Air Mani dari Tulang Sulbi (Qs. Ath-Thariq: 5-7).
Tidak sedikit, ayat-ayat yang penafsirannya pada hari ini bertentangan dengan penjelasan sains modern, dan umat muslim pada hari ini memiliki reaksi yang beragam dalam memberikan jawaban.
Bab 5. Bagaimana Kita Menjawabnya?
Selama ini, umat Islam (termasuk saya sendiri) memang cukup sering membanggakan Al-Quran sebagai kitab suci yang dianggap sangat relevan dengan sains modern, bahkan belakangan kita dapati banyak sekali buku-buku yang diterbitkan oleh ilmuwan Islam yang mencoba menguak keterkaitan tafsir Al-Quran dengan penjelasan saintifik. Tentu hal demikian bisa kita apresiasi dilihat dari aspek bagaimana muslim hari ini memiliki semangat atau gairah kembali dengan agamanya, namun, merenungi lebih jauh bahwa ada ayat-ayat di Al-Quran yang tampak bertentangan dengan penjelasan sains modern pada hari ini, tentu kita akhirnya bertanya: dimana salahnya? bagaimana kita menjawabnya?
Penulis menangkap secara umum bahwa umat Islam hingga hari ini memiliki reaksi yang beragam terhadap hal ini. Ada yang tampak geram dan tidak terima. Bahkan, ada yang hingga akhirnya memilih sikap menolak kebenaran sains modern. Penulis memberikan satu contoh penolakan Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (rahimahullah) yang tegas menjawab bahwa matahari lah yang mengelilingi bumi. Mirip-mirip seperti apa yang terjadi pada sejarah Eropa abad pertengahan ketika terjadi ketegangan antara ilmuwan dan saintis dengan otoritas gereja, walaupun tidak sampai seekstrim itu. Lebih jauh, aksi penolakan sains ini berjalin berkelindan dengan sikap anti barat bahkan anti teknologi dari barat.
Di sisi lain, sebagian kalangan muslim ada yang tetap menerima kebenaran sains modern dengan ragam argumentasinya. Ada yang mencoba memberikan jawaban mudah bahwa Al-Quran bukan kitab sains, tetapi kitab yang berfungsi sebagai petunjuk (yang sebetulnya kalau begitu kita semestinya bersikap adil dalam mendudukkan semua ayat Al-Quran, tidak hanya yang tampak bertentangan dengan sains). Bahkan, ada juga yang mencoba memandang Al-Quran sebagai kitab sastra yang sering memuat metafora dan ungkapan-ungkapan hiperbolik sehingga tidak perlu melulu dikaitkan dengan tafsiran sains modern. Termasuk, ada mereka yang pada akhirnya memilih sikap untuk mencoba menafsirkan ulang ayat Al-Quran agar ditemukan kesesuaian (red: menghindari kesan bertentangan) dengan sains modern seperti yang dilakukan oleh Kementrian Agama RI*.
Epilog: Catatan Pribadi
Saya pribadi, merasa mendapatkan banyak hal yang mencerahkan dari buku ini. Walaupun, saya juga mencatat beberapa kekurangan yang bagi saya akhirnya menyulitkan pembaca untuk memahami apa yang dimaksud penulis. Seperti, penulis yang tidak lebih dulu mendudukkan apa sains yang dimaksud. Apakah hanya terbatas pada sains alam, atau juga mencakup sains ilmu sosial. Saya juga mendapati penulis mencampurkan ayat-ayat yang berbicara tentang fakta alam yang telah dijelaskan oleh sains modern (dasar laut yang gelap, segala sesuatu berpasangan, reseptor pada kulit) dengan hal-hal yang sifatnya hanya sebagai sebuah prediksi kejadian (jasad firaun, hujan darah) yang tidak secara langsung terkait dengan penjelasan sains. Namun, menurut saya buku ini tetap bagus dan recommended untuk rekan-rekan yang tertarik untuk melihat lebih jauh hubungan Al-Quran dan Sains.
Disamping itu, melalui buku ini saya juga bisa semakin memahami bagaimana kemudian kita sebaiknya mendudukkan hubungan antara Al-Quran dan Sains modern. Setelah mendapati bahwa ada ayat-ayat Al-Quran (jumlahnya tidak sedikit) yang tampak bertentangan dengan penjelasan sains modern, dan memahami sifat sains itu sendiri yang memiliki penjelasan alternatif beragam, berubah-ubah dan tidak final tentang fenomena alam (sebut saja teori asal-usul alam semesta yang begitu banyak penjelasan alternatif & spekulatif diberikan oleh para ilmuwan), maka tentunya kita bisa jadi lebih bijak mendudukkan keduanya. Lebih berhati-hati dan tidak terburu-buru mengklaim bahwa ayat-ayat yang ada di Al-Quran secara kasat mata maknanya sangat relevan dengan penjelasan sains modern. Yang justru khawatirnya, malah bisa menjadi “bumerang” bagi kemuliaan Al-Quran itu sendiri kedepannya.
Wallahu A’lam.
Ps. Terkait Kementrian Agama RI yang mencoba menemukan kesesuaian Al-Quran dengan sains modern, bisa ditelusuri terkait ayat-ayat mengenai penciptaan bumi dan langit yang kemudian diterjemahkan dengan 6 masa penciptaan, bukan dengan 6 hari. Bukan 6 hari kali 24 jam tapi enam masa. Seperti apa rincian 6 masa yang dimaksud disini? Tidak ada penjelasan. Pokoknya, bukan 6 hari kali 24 jam. Tapi, 6 masa yang dimaksud itu bisa masa apa saja yang tidak perlu dipikirkan sekarang. Kurang lebih begitu.